Jumat, 21 Januari 2011

Menyembuhkan ‘Impotensi’ Diri, Meningkatkan ‘Libido’ Aksi

http://www.satudunia.net/?q=content/proyek-carbon-offset-dan-ketidakadilan-iklim)
Menyembuhkan ‘Impotensi’ Diri, Meningkatkan ‘Libido’ Aksi !!” merupakan judul tulisan ini, yang mungkin memiliki pencitraan dan peng-interpretasi-an makna berbeda  dari persfektif struktur pengejawantahan kata yang membentuk kalimatnya. Namun, Penulis mencoba ‘mengkaprahkan’ judul tulisan ini secara polisemi, bahwa terdapat faktor keterkaitan antara judul dan isi tulisan. Pada kesempatan ini, Penulis mencoba mempresentasikan atau mem-kritisi suatu bentuk opini mengenai “Analisis Kebijakan dan Peran Kelembagaan dalam Penanganan Masalah, Pengelolaan, dan Penanganan Kualitas Lingkungan Hidup Di Indonesia”. Pandangan  dari opini ini adalah mencoba mentransferkan  khazanah berfikir dalam memahami kebijakan penanganan masalah dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia serta keberhasilan pelaksanaannya; dan mengetahui peran kelembagaan dalam penanganan masalah serta pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Pemikiran opini ini merupakan salah satu bentuk persfektif  karya tulis Penulis dalam ajang  Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa Bidang Kesejahteraan Rakyat Tingkat Nasional (KPKM-KESRA).

Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari interaksi yang tidak seimbang dan harmonis antara aktivitas manusia dengan eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Semakin tinggi tingkat interaksi tersebut, semakin tinggi pula kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi.

Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan pembangunan. Pembangunan merupakan aktivitas manusia yang luas dan sangat kompleks yang dicirikan oleh peningkatan interaksi manusia dengan sumberdaya alam. Disatu sisi, pembangunan membawa perkembangan perekonomian dan kemajuan kehidupan masyarakat, namun di sisi lain pembangunan mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi dalam memacu kerusakan lingkungan hidup.

Sejak tahun 1973 hingga sekarang, pemerintah Indonesia telah membentuk dan melaksanakan program kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan melindungi kerusakan lingkungan dari kegiatan pembangunan. Kenyataannya kerusakan lingkungan di Indonesia semakin bertambah, hal ini dapat dilihat dari berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia yang diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti kasus Newmont Minahasa, kasus Bojong dengan sampahnya, kasus tanah longsor di daerah-daerah seperti Jember dan Trenggalek, hingga kasus pencemaran di laut seperti teluk Jakarta hingga kasus di Selat Madura, kasus Bandung dengan sampahnya, sampai kasus  paling ‘hot’ yang pernah diperbincangkan dahulu hinggak saat ini, yakni bocornya gas bercampur lumpur di daerah Porong Sidoarjo yang merusak lahan penduduk, perumahan bahkan memperlambat jalan tol (Tol Road), dan di-estimasi kejadian tersebut mengakibatkan kerugian ratusan milliar, belum selesai kasus tersebut timbul lagi kasus pembuangan limbah B3 ke lingkungan bebas, yang mengakibatkan terganggunya penduduk dengan bau yang menyengat, kasus  pencemaran akibat eksploitasi sumber mineral dan kekayaan hutan di kalimantan,  dan kasus-kasus lain yang pernah terjadi di Indonesia. Ironisnya beberapa kasus lingkungan yang terjadi di Indonesia belum tersentuh oleh produk-produk hukum di Indonesia.

//vimeo.com/gogreenindonesia)
Pelaksanaan program pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia secara umum belum terlaksana secara maksimal. Hal ini disebabkan adanya beberapa kendala pada pelaksanaan kebijakan. Adapun kendala-kendala yang dihadapi, diantaranya yakni terbatasnya instrumen pelaksanaan, terbatasnya kemampuan aparat penegak hukum, rendahnya kesadaran (sikap kritis) masyarakat, perbedaan cara pandang antara penegak hukum, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, kurangnya pe-masyarakatan peraturan, dan kurangnya kejelasan isi pokok peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) belum memberikan kontribusi yang ‘berarti’ terhadap penyelesaian masalah lingkungan hidup di Indonesia. Kurang berperannya KLH dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya KLH tidak mempunyai kewenangan yang penuh terhadap pengelolaan lingkungan hidup secara hukum dan ketidakjelasan tugas, fungsi, dan wewenang antara KLH dengan instansi lain, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.


Oleh karena itu, mengaitkan kembali dengan judul tulisan yakni “Menyembuhkan ‘Impotensi’ Diri, Meningkatkan ‘Libido’ Aksi !!, dapat dijelaskan bahwa saat ini peran kelembagaan (stakeholder) terkait bisa dikatakan berada dalam fase “Impotensi” stadium menengah. Mengapa?! Alasannya adalah karena masih banyaknya program kerja yang belum berjalan secara maksimal, baik dalam mengatasi masalah, proses penanganan, maupun pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia. Begitu pun dengan kebijakan program yang tidak berjalan sesuai isi yang telah termaktub dalam setiap bab dan subbab kebijakan yang telah dicanangkan. Jika hal ini dibiarkan tanpa adanya revitalisasi atau akselerasi tindakan, maka bisa dipastikan posisi kelembagaan terkait beserta kebijakan yang telah dikeluarkan akan memasuki dimensi fase “Impotensi” tingkatan tinggi alias sulit untuk disembuhkan.  Ujung-ujungnya adalah berimbas pada kronisisasi “Impotensi Diri” kompleksitas yang divergen. Karena itu, diperlukan suatu formula (resep) untuk menyembuhkan “Impotensi Diri” yang menyerang fungsional Kebijakan dan peran kelembagaan tersebut, sehingga mampu meningkatkan “Libido Aksi” dalam pencapaian optimalisasi penangaan masalah dan peningkatan kualitas lingkungan hidup di Indonesia yang lebih baik dan optimal. 

Alternatif formulasi (resep) untuk menyembuhkan “Impotensi Diri” dan meningkatkan “Libido Aksi” peran kelembagaan serta  fungsionalitas kebijakan kualitas lingkungan hidup Indonesia di masa depan, adalah dengan melakukan perubahan (revitalisasi) terhadap kebijakan, penyempurnaan peraturan lingkungan, dan restrukturisasi kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan cara : (1) Penyusunan program kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan yang bercirikan holistik, terintegrasi, multi dimensi, multi sektoral, multi pihak, dan multi kepentingan; dimana kebijakan pengelolaan lingkungan otonomi daerah dijadikan sebagai pilihan alternatif kebijakaan. (2) Penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan; peningkatan sosialisasi peraturan kepada masyarakat; dan penerapan hukum meliputi pengadilan khusus lingkungan hidup. (3) Restrukturisasi lembaga pengelolaan lingkungan hidup di tingkat pusat dan daerah yang bersifat integrasi sesuai dengan permasalahan lingkungan hidup; memperjelas tugas, fungsi, dan kewenangan setiap lembaga lingkungan hidup untuk menghindari duplikasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, peningkatan sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia pada kelembagaan lingkungan hidup. Sitasi (kesimpulan) yang bisa dijabarkan adalah jika “Impotensi Diri” yang menyerang kelembagaan dan kebijakan lingkungan hidup di Indonesia dapat disembuhkan  melalui formulasi (resep) yang telah dipaparkan sebelumnya, maka otomatis akan dapat meningkatkan “Libido Aksi” bagi ‘raga’ kelembagaan terkait beserta ‘jiwa’ kebijakannya dalam mengatasi masalah, proses penanganan, dan peningkatan kualitas hidup di Indonesia untuk pencapaian yang lebih baik, efektif, dan optimal.

//alamislami.com/tag/kerusakan-lingkungan/)

Nah… Saudara-saudaraku se-nusa, setanah air, dan sesama bangsa Indonesia…
Saatnya kita ‘melek’ mata fisik dan mata batin kita…
Ada apakah gerangan yang terjadi dengan Bumi Nusantara ini?!
Kemanakah gaung ’lagu’ kebanggaan akan kecintaan sang bumi pertiwi…
Tidakkah kita menginginkan nuansa gemah ripah loh jinawi…
Tidakkah kita mendambakan jalinan pelangi di sini…
Dan, tidakkah kita sadar bahwa kita adalah negara kaya megadiversity…
Karena itu, marilah kita bangkit dari ‘kubur’ ke-egois-an pribadi…
Ayo sinsingkan lengan baju dan mari merajut aksi sehati…
Bersama-sama kita teguhkan pendirian hakiki…
Bersama kita bisa membuktikan pada dunia multi dimensi…
Bahwa kita bisa beraksi dengan pasti…
Menembus mimpi, mematahkan jeruji duri, dan melepas belenggu diri
’Tuk gapai Indonesia yang sejati…
Indonesia yang bersih dan harmoni…
Melegenda dan berjaya dalam setiap sisi…
Meng-angkasa tinggi menjulang martabat negeri…
Terpahat dan tertata rapih nan suci…
Dalam jalinan bingkai persaudaraan yang penuh kasih abadi…. !!!
♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ ♥
.

-by Cupi Valhalla-

Analisis dan Strategi Kebijakan Penanggulangan Kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di Perairan Indonesia!


Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan jalur lalu lintas pelayaran internasional. Sumber daya hayati laut yang terkandung di dalamnya sangat potensial, baik untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia seluas 5,866 juta km2 (Gany, 2000)[1], sangat memungkinkan bila sektor ini diharapkan menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia di masa depan.

Sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas, Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang sangat besar. Hasil penelitian Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP, 2001)[2] menunjukkan besarnya potensi sumber daya ikan (6,4 juta ton/tahun) juga disertai oleh tingkat pemanfaatan yang secara rata-rata sudah cukup tinggi (63,5%). Pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan Indonesia lebih terkonsentrasi di wilayah perairan yang berbatasan dengan daerah-daerah yang padat penduduknya, seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Bali dan Selat Makasar. Sedangkan daerah perairan lepas pantai dan hampir seluruh perairan ZEEI kecuali Laut Arafura, secara umum dapat dikatakan belum dimanfaatkan secara optimal (DirJen Perikanan, 1994a)[3].

Seiring berjalannya waktu, maka tentunya terjadi banyak perubahan dalam kondisi sumber daya perikanan dan kelautan tersebut, terutama terkait dengan maraknya praktek penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab yang dalam dunia internasional mendapat sebutan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU-Fishing). Lemahnya upaya penegakkan hukum di Indonesia mengakibatkan kasus-kasus pencurian ikan oleh nelayan-nelayan tidak kunjung usai. Peraturan-peraturan yang dibuat dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia, kerap tidak diimbangi dengan penerapan sanksi dan penegakkan hukum yang jelas hingga akhirnya kasus-kasus pencurian dan terlepasnya kembali pelaku-pelaku pencurian sering terjadi.

Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan dan aksi untuk membahas masalah ini, yakni dengan mengkaji sebab-akibat adanya kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia; Mengidentifikasi dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penanggulangan IUU-Fishing di perairan Indonesia; Menelaah dan menganalisis upaya penanggulangan kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia; dan Merekomendasikan strategi yang tepat untuk penanggulangan IUU-Fishing di perairan Indonesia.

Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), yang mengakibatkan maraknya aktivitas IUU-Fishing di Indonesia adalah : (1) rentang kendali dan luasnya daerah pengawasan tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini; (2) terbatasnya kemampuan sarana dan armada pengawasan di laut; (3) lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi atau broker; (4) masih lemahnya penegakkan hukum; dan (5) lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum. Berbagai kegiatan yang termasuk dalam kategori IUU-Fishing secara langsung merupakan ancaman bagi upaya pengelolaan sumber daya ikan yang tidak bertanggung jawab dan menghambat kemajuan pencapaian perikanan tangkap yang berkelanjutan (FAO, 2002)[4]. Pelaku IUU-Fishing, tidak hanya nelayan asing semata, tetapi juga dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia sendiri. Diperkirakan setiap tahunnya Indonesia mengalami kerugian sebesar 2 miliar dollar atau setara dengan 20 trilyun akibat praktek kegiatan IUU-Fishing yang terjadi (Nikijuluw, 2005)[5].

Dalam upaya merumuskan alternatif-alternatif strategi untuk menanggulangi kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia. Maka terlebih dahulu dilakukan identifikasi berbagai kekuatan dan kelemahan (faktor internal) yang terdapat dalam sistem permasalahan; dan identifikasi faktor peluang dan ancaman (faktor eksternal) dalam sistem yang akan dicari penyelesaiaannya. Dalam hal ini strategi kebijakan dalam pengangulangan kegiatan IUU-Fishing di perairan Indonesia dilakukan dengan analisis SWOT. Berdasarkan matrik SWOT yang telah diformulasikan, diketahui terdapat 9 (sembilan) strategi kebijakan yang dapat dilakukan untunk menanggulangi kegiatan IUU-Fishing di Indonesia. Berdasarkan faktor kepentingan dan prioritas, maka 9 (sembilan) strategi kebijakan tersebut dapat diuraikan menurut urutan prioritasnya, yakni sebagai berikut: (1) Penguatan armada penangkapan lokal di wilayah perairan Indonesia; (2) Peningkatan kegiatan pengawasan; (3) Memaksimalkan peran TNI AL, SATPOLAIR, dan lembaga-lembaga terkait dengan kegiatan pengawasan sumber daya perikanan; (4) Memperbaiki kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan sumberdaya perikanan; (5) Meningkatkan upaya pengimplementasian undang-undang tentang pengelolaan sumber daya perikanan secara menyeluruh dan kontinu; (6) Pemberian sanksi yang tegas guna memberikan efek jera kepada oknum pelanggaran bidang perikanan ; (7) Memperbaiki koordinasi dan hubungan antara instansi terkait dalam pengelolaan SDI di perairan Indonesia; (8) Pembangunan prasarana pelabuhan yang memadai di setiap pantai peraiaran Indonesia yang ramai aktivitas ekonominya; dan (9) Meningkatkan kerja sama regional dan internasional.

Oleh karena itu disarankan agar segera mengkaji kemungkinan untuk melaksanakan program-program rekomendasi FAO yang belum dilakukan di Indonesia; menetapkan proses adopsi suatu rencana aksi nasional dalam mekanisme penyusunan rencana kerja rutin di DKP melalui koordinasi Sekretariat Jenderal.; dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya pemantauan dan pengawasan terhadap wilayah perairan, khususnya ZEEI yang berbatasan langsung dengan negara lain.

-oOo-
References :
[1] Gany, R. A. 2000. Pengembangan Sumber daya Manusia dalam Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan. Makalah Ilmiah. Prosidiing Konferensi Nasional II Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan Indonesia. Makasar.

[2] Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Laut Departemen Kelautan dan Perikanan – Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarata.

[3] Direktorat Jenderal Perikanan. 1994a. Evaluasi Pemanfaatan Sumber daya Ikan dalam Rangka Pengembangan dan Pengendaliannya. Departemen Pertanian. Jakarta.

[4] FAO Fisheries Department. 2002. Implementation of The International Plane of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 9. Rome, 122p.

[5] Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan : Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan. Fery Agung Corporation (Feraco), Jakarta.

Harmonisasi dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sistem Pertanian Organik

Pertanian organik semakin mendapat perhatian dari sebagian besar masyarakat, baik di negara maju maupun negara berkembang, khususnya mereka yang sangat memperhatikan kualitas kesehatan, baik kesehatan manusia maupun lingkungan. Produk pertanian organik diyakini dapat menjamin kesehatan manusia dan lingkungan karena dihasilkan melalui proses produksi yang berwawasan lingkungan. Trend masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature) telah menyebabkan permintaan produk pertanian organik di seluruh dunia tumbuh pesat sekitar 20 – 30 % per tahun. Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pada tahun 2010  yang lalu, pangsa pasar dunia terhadap produk pertanian organik mencapai U$ 100 milyar.

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan.

Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (intercropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah. The International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) menyatakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, serta (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani.

Beberapa kegiatan yang diharapkan dapat menunjang dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan keuntungan harmonisasai produktivitas pertanian dalam jangka panjang, meningkatkan kualitas lingkungan, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat tani adalah sebagai berikut: (1) pengendalian hama terpadu, (2) aplikasi sistem rotasi dan budidaya rumput, (3) konservasi lahan, (4) menjaga kualitas air/lahan basah, (5) aplikasi tanaman pelindung, (6) diversifikasi lahan dan tanaman, (7) pengelolaan nutrisi tanaman, (8) agroforestri (wana tani), (9) manajemen pemasaran, dan (10) audit dan evaluasi manajemen pertanian secara terpadu dan holistik.

Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pertanian organik merupakan salah satu teknologi alternatif pertanian yang memberikan berbagai hal positif, yang dapat diterapkan pada usaha tani, sehingga produk-produk hasil pertanian dapat bernilai komersial tinggi, menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan keamanan pangan, dan dapat memberikan kesadaran masyarakat dan petani khususnya dalam melestarikan ekosistem lingkungan. Oleh karena itu, untuk menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan yang harmonis dan berkelanjutan, perlu dilakukan upaya antara lain : (1) sosialisasi pemasyarakatan mengenai pentingnya pertanian yang ramah lingkungan, (2) penggalakkan konsumsi produk hasil pertanian organik, dan (3) diperlukan lebih banyak kajian/penelitian untuk mendapatkan produk organik yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa usaha tani yang berorientasi pasar global perlu menekankan aspek kualitas, keamanan, kuantitas dan harga yang bersaing. Mari kita sambut dan sukseskan realisasi program kerja Go Organic di Indonesia !!!

-oOo-

Note : Artikel ini adalah salah satu koleksi catatan persfektif Penulis. Untuk keterangan mengenai reference tulisan, bisa melalui via-Jalur pribadi pesan di profile blog Penulis atau melalui via email Penulis cupi.adventurer@gmail.com. Terima kasih.

Bunga-Bunga Liar dan ‘Ornamental Grasses’ : Elemen Arsitektur Lanskap dan Potensinya di Indonesia

 
Tanaman merupakan elemen lanskap yang mempunyai kegunaan, baik secara fungsional (fisik), maupun secara estetika (keindahan). Penggunaannya dalam lanskap menjadi hal yang utama. Banyak tanaman yang sebenarnya potensial digunakan sebagai tanaman lanskap, contohnya saja beberapa jenis bunga-bunga liar dan ornamental grasses. Sayangnya nilai estetika dan fungsional dari tanaman-tanaman tersebut belum banyak disadari oleh masyarakat luas. Selama ini tanaman-tanaman tersebut hanya dikenal sebagai tanaman pengganggu yang merugikan, sehingga penggunaan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses tersebut harus lebih disosialisasikan ke masyarakat.

Tulisan ini ditulis sebagai informasi, pengetahuan, dan sarana ilmu, dimana  dalam hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan bagi khalayak ramai, mengenai karakteristik fisik beberapa spesies bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses yang dapat digunakan dalam desain lanskap, memberikan pengidentifikasian penggunaannya dalam taman, serta memberitahukan potensi yang dapat diambil dan alternatif strategi pengembangannya di Indonesia.

Karakteristik bunga-bunga liar dan ornamental grasses cukup beragam. Hal ini disebabkan tanaman-tanaman tersebut berasal dari famili yang berbeda. Adanya keragaman karakteristik menjadikan tanaman-tanaman tersebut memiliki peranan yang bervariasi, tergantung maksud yang hendak dicapai dari penggunaannya dalam lanskap. Penggunaan bunga-bunga liar dan ornamental grasses dalam lanskap berkaitan dengan karakter yang dimiliki oleh tanaman tersebut. Pemilihan ornamental grasses untuk digunakan dalam lanskap, salah satunya adalah dengan melihat bentuk rumpunnya. Adanya keseragaman bentuk rumpun serta karakteristik lainnya pada ornamental grasses, memungkinkan untuk mengelompokkan peranannya dalam beberapa penggunaan, diantaranya kelompok tanaman pagar (hedge), kelompok fence/barrier screen dan pemecah angin (windbreak). Kelompok yang lainnya adalah kelompok tanaman ornamental, yakni sebagai tanaman hiasan (ornament) yang ditanam secara individu atau secara berkelompok yang ditujukan sebagai ‘focal point’ atau juga dapat ditanam sebagai background. Sedangkan penggunaan bunga-bunga liar bernilai estetik dalam lanskap, diantaranya diklasifikasikan sebagai kelompok tanaman penutup tanah (ground cover), kelompok tanaman pagar (hedge), dan kelompok tanaman ornamental.

keanekaragaman hayati dan plasma nutfah seperti kekayaan flora, khususnya jenis tanaman berbunga liar dan ornamental grasses, memiliki banyak potensi dan manfaat jika kedua jenis tanaman tersebut diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Adapun manfaat dan potensi yang dapat dihasilkan dari pengembangan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses, diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Membuka lapangan usaha atau pekerjaan baru, seperti penyediaan pembibitan tanaman, penelitian, perancangan taman (lanskap), penjualan dan distributor tanaman, serta adanya peluang dibukanya kios-kios penjualan tanaman hias dan tanaman bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses.
  • Bertambahnya koleksi dan jenis kultivar baru terhadap plasma nutfah di Indonesia, yang dapat diaplikasikan sebagai elemen (unsur) seni dalam lanskap dan kegunaan lainnya.
  • Menghasilkan dan mampu menyediakan jenis tanaman hias yang baru dan unik, sehingga dapat menjadi terobosan sebagai tanaman hias yang populer di masyarakat dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
  • Mampu melestarikan dan menjaga keragamanannya sehingga dapat diwariskan pada anak cucu generasi berikutnya.
  • Terbukanya peluang dan prospek untuk dijadikan komoditas ekspor negara, sehingga dapat menunjang devisa negara dan meningkatkan lau perekonomian Indonesia.
Berdasarkan penjelasan di atas, sangat memungkinkan untuk dilakukan pengembangan lebih lanjut terhadap potensi dan manfaat dari bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses, mengingat kekayaan flora di Indonesia yang beragam dan belum termanfaatkan secara optimal. Adapun empat strategi alternatif dalam mengembangkan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses diformulasikan sebagai strategi SLOT, yaitu strategi S-O (Strength-Opportunity), Strategi L-O (Limited-Opportunity), strategi S-T (Strength-Threat), dan strategi L-T (Limited-Threat).  Strategi S-O meliputi : (1)Mempopulerkan potensi pemanfaatan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses melalui media informasi, (2) Membudidayakan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses untuk diekspor, dan (3) Meningkatkan keragaman dan potensi pemanfaatan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses dengan teknologi pemuliaan tanaman. Penerapan strategi L-O dapat dilakukan melalui : (1) Penggunaan teknologi pemuliaan tanaman untuk mengusahakan kesesuaian habitat bagi bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses, (2) Mensosialisasikan nilai estetis, ekonomis, dan kegunaan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses melalui media informasi, dan (3) Membudidayakan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses di nursery untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Untuk program strategi S-T, dapat dilakukan dengan membudidayakan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses di berbagai tempat untuk mencegah kepunahan (fungsi konservasi) akibat hilangnya habitat atau adanya kerusakan. Sedangkan langkah strategi L-T yang dapat diterapkan, yakni dengan melakukan sosialisasi dan pengenalan bunga-bunga liar dan ornamental grasses untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap alam dan tanaman.

Melalui keempat strategi ini, disarankan agar dilakukan kajian lebih lanjut terhadap pengelolaan dan pengembangan bunga-bunga liar bernilai estetik dan ornamental grasses secara keberlanjutan, sehingga diharapkan dapat menjadi aset dan modal dasar bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia, khususnya melaui bidang lanskap dan pertamanan.

-oOo-

Note : Artikel ini adalah salah satu koleksi catatan persfektif Penulis. Untuk keterangan mengenai reference tulisan, bisa melalui via-Jalur pribadi pesan di profile blog Penulis atau via email cupi.adventurer@gmail.com. Terima kasih.

Antara Si Cantik dan Si Seksi! Anda Pilih yang Mana?!

Kebun bunga itu tampak asri dengan hamparan flora di sekelilingnya. Berbagai kuncup dan merekah flora bergemuruh memanggil para bidadari bunga dan pangeran kembang. Tampaklah atraksi si cantik dan si tampan berhuru-hara memperebutkan bulir madu dan inti saripati gula dalam setiap kepala putik mahkota si flora. Kupu-kupu yang cantik, lebah dan tawon yang eksentrik, serta kumbang pelanduk antik yang perkasa berasyik masyuk dalam symbiosis yang terkreasi di taman itu.

Namun, seketika terjadilah momentum hukum rimba dan seleksi kehidupan di taman itu. Salah satu bidadari bunga yang cantik terperangkap dalam jalinan benang si seksi laba-laba.  Si kupu-kupu yang cantik tampak meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman perangkap si seksi laba-laba. Namun, jerat tali-temali si seksi laba-laba malah semakin kuat mengikat tubuh si cantik kupu-kupu setiap kali ia bergerak. Kini, nasib si cantik kupu-kupu tinggal menunggu tutup usia di tangan si seksi laba-laba.

Sebenarnya, aku yang menyaksikan kejadian itu, dapat turun campur mengubah garis takdir yang terjadi. Aku bisa saja menyelamatkan si cantik kupu-kupu yang terperangkap dalam cengkraman si seksi laba-laba. Namun, semua itu tak kulakukan. Mungkin bagi para pecinta si cantik kupu-kupu, aku berlaku sangat kejam terhadap si cantik kupu-kupu, karena tidak segera menolongnya, tetapi malah membiarkan si seksi laba-laba berpesta porah mendapatkan mangsanya.

Kubiarkan saja kejadian itu berlangsung. Bahkan, kuperhatikan dengan seksama bagaimana si seksi laba-laba itu mempermainkan nyawa si cantik kupu-kupu dengan sekehendak hatinya. Mungkin si cantik kupu-kupu itu melihatku dan merintih meminta tolong mengibah kepadaku saat itu. Namun, aku diam saja atas apa yang terjadi. Kubiarkan saja si seksi laba-laba membungkus si cantik kupu-kupu dengan sulaman benangnya, kemudian dengan gerakan anggunnya menusukkan sungutnya menghisap cairan dalam tubuh si cantik kupu-kupu. Si cantik kupu-kupu akhirnya diam membeku, tak tampak denyut kehidupan lagi dari raganya yang tampak kaku.

Apakah kalian tahu, mengapa aku lebih memilih si seksi laba-laba daripada si cantik kupu-kupu? Sebenarnya alasan lebih tepatnya adalah membiarkan saja kejadian yang telah terjadi di depan mata. Karena pada saat kejadian itu berlangsung, ada aku maupun tidak ada saat di TKP, peristiwa ‘pembantaian’ si cantik kupu-kupu oleh si seksi laba-laba tetap akan berlangsung juga. Aku kebetulan saja berada di sana, untuk menjadi saksi dan pengamat atas peristiwa yang terjadi. Karena, itulah kehidupan. Dalam kehidupan, proses rantai makanan terus terjadi dalam setiap waktu kehidupan. Si pemangsa akan hidup jika mendapatkan asupan energi dari mangsanya. Berbagai cara dan metode dilakukan oleh pemangsa untuk tetap bertahan hidup. Begitu pun si pemangsa yang lebih kecil, akan dimangsa oleh si pemangsa yang lebih besar tingkatannya. Dan seterusnya.

Si cantik kupu-kupu itu adalah mangsa dari si pemangsa si seksi laba-laba. Itu sudah menjadi jalur takdir yang terjadi dalam kehidupan. Begitulah yang memang terjadi. Jadi, jangan salahkan aku, jika aku tidak menolong si cantik kupu-kupu dari si seksi laba-laba. Bukan berarti aku lebih memihak pada si seksi laba-laba. Ini adalah siklus hukum alam yang normal terjadi.

Coba bayangkan jika kejadiannya begini. Seandainya aku menolong si cantik kupu-kupu dari cengkraman si seksi laba-laba. Apa yang terjadi? Bisa jadi si seksi laba-laba lah yang akan tutup usia. Mungkin saja si seksi laba-laba ini telah berhari-hari tidak mendapatkan makanan, dan jika hari itu dia tidak mendapatkan asupan energi, maka bisa dipastikan si seksi laba-laba inilah yang akan mati. Itu berarti aku telah membunuh laba-laba itu, karena aku telah menyelamatkan mangsanya yang telah susah payah ia tunggu dan akhirnya ia dapatkan juga pada hari itu. Sungguh tidak adil kan jika begitu?

Karenanya, sekali lagi, bagi kalian pecinta kupu-kupu, aku bukanlah seorang yang kejam membiarkan saja si seksi laba-laba membunuh si cantik kupu-kupu. Tetapi, lebih tepatnya aku tidak mau turut campur atas hukum alam kehidupan yang terjadi. Karena itulah garis rantai makanan yang pasti terjadi. Ibarat hukum rimba, yang kuat akan memangsa yang lemah. Yaa, seperti itulah kenyataan yang terjadi.

Tetapi, mengapa ya sampai sekarang, ketika kutanyakan permasalahan ini, sebagian besar orang lebih menyelamatkan si cantik kupu-kupu ketimbang memilih si seksi laba-laba? Dan, kebanyakan yang memilih itu karena beralasan kupu-kupu adalah fauna yang cantik dan disayangi ketimbang laba-laba. Padahal laba-laba juga fauna yang seksi dan menawan, bukan?!